Akhirnya
kebiasaan itu terbawa sampai anak saya lahir. Ketika sedang menyusui, saya akan
mendendangkan lagu sambil mengusap-usap punggung tangannya. Jika anak saya
sedang terjaga, maka saya akan mengajaknya ngobrol. Apapun bisa menjadi
bahan obrolan. Karena obrolannya masih satu arah, maka terdengar seperti saya
sedang curhat ke bayi. J J J
Tapi dari kebiasaan itu, saya merasakan ikatan dengan
anak semakin kuat. Anak dapat merasakan apapun suasana hati ibunya. Jika saya
sedang gembira, anak saya akan tertawa-tawa dengan sorot mata yang
berbinar-binar. Jika saya sedang sedih dan tertekan, maka dia lebih sering diam
dan memilih untuk tidur. Mungkin dia tidak mau melihat ibunya sedih.
Ketika memasuki usia sekitar 18 bulan, anak saya mulai
menunjukkan kecenderungan tantrum. Tantrumnya pun bisa terbilang ‘ekstrim’. Dia
akan membentur-benturkan badannya ke lantai dan tembok. Tentu ini membuatku
menjadi khawatir. Jika ini dibiarkan, bisa menjadi karakter yang terbawa ketika
dia sudah besar kelak. Selain kecenderungan tantrum, anak saya juga sulit
beradaptasi di lingkungan baru dengan cepat. Jika saya ajak bermain ke rumah
teman, dia tidak mau lepas dari saya. Bahkan ketika saya ke toilet pun, saya
harus mengajaknya serta. Sangat merepotkan dan memalukan, pikirku kala itu.
Saya mencoba mempelajari penyebab dan solusinya. Apa yang
salah dari saya ketika mendidiknya? Menurut istilah teman, kondisi itu bisa
dikatakan sebagai sindrom anak pertama yang cenderung ‘ibu banget’.
Tidak rela jika anakku menjadi ketergantungan pada ibunya maka saya mulai
mencari berbagai referensi. Baik dari bacaan maupun ngobrol dan sharing
dengan teman dan saudara yang lebih berpengalaman. Maklum, sebagai ibu baru
saya masih sering keder dalam mengasuh dan mendidik anak.
Ternyata kembali lagi kuncinya adalah komunikasi. Mulai dari cara saya berkomunikasi
sampai kapan waktu yang pas agar pesan yang ingin saya sampaikan tepat sasaran.
Sebisa mungkin saya mencoba menghindari kalimat negatif seperti tidak dan
jangan. Jika memang tidak ada pilihan, maka saya akan menjelaskan alasannya.
Ketika menjelang tidur, ketika sedang menyusui, atau
ketika anak sedang gembira adalah waktu yang tepat untuk mengajaknya
berkomunikasi. Saya menghindari untuk berbicara ketika anak dalam kondisi yang
tidak nyaman seperti kesal atau marah.
Bagaimana hasilnya? Ah, masih terlalu dini bila berbicara
mengenai hasil. Terlebih anak usia batita yang masih sangat dinamis dalam
pertumbuhan dan perkembangannya. Tapi saya mulai merasakan perbedaan. Mungkin
dari kemampuan berbahasanya masih standar tapi kemampuan mengolah emosinya
sungguh menakjubkan. Ketika mempunyai keinginan, dia akan menyampaikannya. Jika
tidak terpenuhi, dia hanya menangis tersedu sambil memeluk saya dengan erat.
Atau jika ada ayahnya, dia akan mengajak ayahnya untuk keluar rumah. Jika saya
ajak ke lingkungan baru, dia juga lebih mudah untuk beradaptasi sekarang.
Bahkan dia lebih dulu menyapa orang-orang yang ditemuinya.
Komunikasi yang Baik,
Komunikasi Efektif
Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu
makna komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua
orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Sedang menurut
beberapa ahli seperti William J. Seller dan Raymond Ross, komunikasi ialah suatu
proses di mana simbol verbal dan non verbal
dikirimkan, diterima, dan diberi makna.
Apabila komunikasi di dalam keluarga sudah terjalin
dengan baik, maka bisa dipastikan hubungan dalam keluarga menjadi lebih
harmonis. Terlebih komunikasi antara ibu dengan anaknya. Komunikasi yang
terjalin dengan baik akan berdampak positif pada perkembangan anak. Beberapa diantaranya adalah:
1.
Mengembangkan kematangan emosional anak
2.
Meningkatkan kepandaian intelektual
3.
Mempunyai kemampuan dalam kehidupan sosial yang baik
4.
Menanamkan nilai prinsip moral yang baik pada anak
Lantas
bagaimana cara membangun komunikasi yang baik dan efektif pada anak? Berikut
beberapa kiatnya:
ü
Jangan berbicara tergesa-gesa pada anak.
ü
Gunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak, hindari
menggunakan bahasa negatif seperti tidak dan jangan. Jika tidak ada pilihan,
harus disertai alasan yang jelas.
ü Ketika berbicara dengan anak, sSebisa mungkin ketahui
bagaimana kondisi emosinya.
ü
Pahami kebutuhan bahwa sebagai orangtua dan anak itu
berbeda.
ü
Biasakan untuk membaca bahasa tubuh anak, apakah dia
sedang senang, sedih, dan lainnya.
ü Ketika anak sedang bercerita, pastikan kita fokus pada
dirinya. Simpan dahulu gadget atau tunda
aktivitas lainnya.
ü
Hindari memaksakan pendapat, cara, atau memvonis anak.
Lebih baik memberikan pertanyaan yang membuat mereka semakin memahami kejadian
yang sedang dialaminya.
Membangun
Komunikasi Sejak Dini
Ekspresi, buah komunikasi yang baik |
Komunikasi tidak terbatas dalam bentuk kata-kata, namun mencakup
ekspresi dan sebuah kesatuan seperti bahasa tubuh, senyuman, pelukan, ciuman
sayang dan kata-kata. Mendengarkan secara totalitas dalam artian benar-benar
mendengarkan, memberikan perhatian dan memahami emosi serta pikiran orang yang
bicara pun termasuk ke dalam berkomunikasi.
Membangun
komunikasi sejak dini tidak akan pernah merugikan pihak manapun. Yang saya
rasakan justru membuat saya lebih lega karena berbagai perasaan dan emosi tersampaikan.
Memendam rasa dan emosi hanya akan membuat kita tertekan dan stres. Kita lebih
mudah memahami kondisi anak karena anak terbiasa untuk terbuka. Sungguh tidak
terbayangkan bagaimana rasanya ketika anak beranjak remaja, mereka lebih
terbuka kepada orang lain ketimbang kepada orangtunya. Selain itu, anak juga mampu berkembang optimal
sesuai dengan potensinya.
Sama halnya
seperti orang dewasa, anak-anak pun membutuhkan komunikasi yang baik. Tidak
hanya dengan teman sebayanya tetapi juga dengan orangtuanya. So, mulai bangun
komunikasi yang baik dengan anak-anak kita sekarang.
Tulisan ini diikutsertakan dalam "Happy Mom - Yas Marina Give Away"
http://www.yas-marina.net/2016/12/happy-mom-yas-marina-giveaway.html